Entri Populer

Selasa, 15 Februari 2011

KIAT PEMERINTAH COLORADO BELAJAR DARI SEKTOR SWASTA



Pada banyak pemerintahan, belum terdapat budaya pelayanan yang memadai sebagimana perusahaan professional memberikan pelayanan terhadap pelanggannya. Karena itu secara jelas Pemerintah Colorado mempunyai misi untuk “ menyediakan informasi dan layanan yang berpusat pada masyarakat sebagimana perusahaan melayani customernya”.Dengan misi meningkatkan kualitas layanan inilah inisiatif e-Government dicetuskan disana.

Karena banyak definisi tentang e-Government, Pemerintah Colorado kemudian memberikan beberapa batasan definisi, yaitu dengan e-Government pemerintah menyediakan (GOIT, 2001) :
• Akses masyarakat secara cepat terhadap pelayanan pemerintah
• Akses layanan yang fleksibel selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu dari manapun seseorang berada
• Alternatif akses melalui berbagai teknologi baru kepada pemerintah tanpa meninggalkan akses tradisional yang selama ini dijalankan dan
• Sedapat mungkin menghentikan proses manual dengan proses otomatis untuk menjamin efisiensi dan efektifitas proses pelayanan

E-Government di Colorado kemudian diterjemahkan dalam target – target besar sebagai berikut :
• Meningkatkan akses dan efisiensi dalam memberikan informasi kepada masyarakat dimana website akan menjadi sarana utama, tetapi untuk masyarakat yang tidak mempunyai akses internet, perlu ada mekanisme lain dalam memberikan informasi (telephon, pusat informasi layanan pemerintah)
• Perhatian terhadap layanan informasi dan privasi seseorang dalam hubungannya dengan e-Government
• Pengelolaan terhadap alat perusahaan professional dalam berbagai sector dengan membangun model bisnis yang kuat dalam pengembangan e-Government.
• Menggunakan tehnologi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas dalam pemberian informasi dan pelayanan public
• Transformasi pegawai negeri di Colorado melalui usaha – usaha pelatihan yang intensif dan memastikan bahwa mereka mendapatkan informasi yang memadai untuk proses pengambilan keputusan
• Memastikan tersedianya sumber biaya dan penerimaan yang mencukupi untuk pelaksanaan e_government secara keseluruhan
• Membangun kepemimpinan dan visi tentang e-Government yang kuat dan komprehensif. Visi itu kemudian diterjemahkan kedalam perencanaan strategis dan perencanaan pelaksanaanya dilapangan melalui kerjasama dengan berbagai sector, baik antar departemen pemerintah maupun dengan pihak – pihak swasta.

Visi e-Government Colorado
Untuk memberikan arah yang tepat, pemerintah Colorado mempunyai beberapa visi dan strategi pengembangan e-Government ke depan.

Pertama: Akses terhadap layanan dan Informasi
Untuk akses utama terhadap informasi dan layanan pemerintah Colorado akan disediakan oleh dua portal, yaitu Portal Internet pemerintah untuk masyarakat umum dan Portal Intranet untuk pegawai dan Staf Pemerintahan. Semua layanan akan diletakkan pada portal utama sehingga masyarakat hanya perlu mengakses portal utama. Di portal utama itu akan terdapat direktori layanan di mana masyarakat bisa memilih layanan mana yang ingin ia dapatkan.
Untuk kalangan yang tidak mempunyai akses internet, pemerintah menyediakan akses layanan melalui telephon, surat dan melalui fasilitas internet umum yang disebut sebagai Government Service Terminals yang disediakan di berbagai tempat dan fasilitas public, serta pusat informasi layanan pemerintah Colorado (Government Service Centre).

Kedua : Kebijakan dan Privacy Individu
Karena pentingnya masalah keamanan data dan privacy individu, Pemerintah Colorado mengeluarkan aturan tentang keamanan data dan penggunaan informasi yang didapatkan dari berbagai system informasi dalam program e-Government. Kebijakan ini penting untuk menjamin kepercayaan masyarakat agar mereka mau berpartisipasi dalam pengembangan e-Government.

Ketiga : Penggunaan Teknologi
Penggunaan teknologi harus mampu memberikan efisiensi dalam memberikan pelayanan, mempercepat waktu pelayanan dan mengurangi berbagai biaya yang diperlukan.
Keempat : Pengembangan Staf Pemerintah menjadi Pekerja Profesional
Seiring dengan penerapan e-Government, pegawai negeri dan staf pemerintahan secara perlahan perlu mendapatkan pelatihan yang mamadai untuk menjadi pekerja professional. Karena dengan mendapatkan akses dan informasi yang luas terhadap berbagai proses akan memudahkan bagi mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Kelima : Masalah Biaya dan Sumber Penerimaan
Pelaksanaan e-Government membutuhkan biaya yang sangat besar terutama dalam membanguan infrastruktur dan system aplikasi. Namun kedepannya e-Government justru akan mengurangi biaya yang tidak perlu sehingga secara keseluruhan akan menguntungkan baik untuk pemerintah maupun masyarakat secara umum. Biaya yang bisa dihemat antara lain : biaya waktu pengurusan layanan, biaya tempat, biaya perjalanan, biaya pegawai yang bisa dihemat dan berbagai biaya lainnya.

Keenam : Kepemimpinan dan Kerjasama
Pelaksanaan e-Government membutuihkan tidak hanya komitmen dari pimpinan pusat, dalam hal ini Gubernur Colorado, tetapi juga integrasi dari berbagai system dan aplikasi antar departemen. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Colorado membentuk Chief Information Ifficer (CIO) diitingkat Gubernur yang akan menjadi koordinator bagi pelaksanaan dan pembangunan system informasi pada tingkat departemen.

Ketujuh : Bertindak Selayaknya Perusahaan Profesional
Untuk membangun pemerintah Colorado menjadi pemerintahan yang kuat dan efisien, perlu mengubah paradigm pemerintahan model sekarang menjadi peradigma bisnis proses perusahaan professional. Model bisnis professional dibangun berdasarkan kemempuan perusahaan untuk membangun system informasi yang kuat yang bisa dilihat secara real time sehingga memudahkan bagi manajemen untuk proses pengambilan keputusan.

Sabtu, 12 Februari 2011

Perencanaan Pembangunan Daerah Mengacu UU no. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

PERENCANAAN DAERAH
MENGACU PADA UU NOMOR 17 TAHUN 2003


A. Latar Belakang Masalah

Perencanaan dan penganggaran daerah telah menjadi isu yang sangat penting terutama jika dikaitkan dengan tuntutan praktis implementasi desentralisasi administrasi pemerintahan dan implementasi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Selain itu secara substantif perencanaan dan penganggaran juga memiliki arti penting jika dikaitkan dengan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam alokasi sumber daya publik. Pada masa transisi demokrasi di Indonesia, demokrasi tidak hanya dipahami sebagai prosedur untuk perebutan kekuasaan melainkan juga prosedur untuk menjamin pemerintahan dapat bekerja sesuai dengan kebutuhan rakyat, telah banyak reformasi yang terjadi namun prosedur yang menjamin bahwa pemerintahan dapat bekerja dan memutuskan sesuai dengan kebutuhan rakyat–misalnya proses pengambilan keputusan mengenai alokasi sumber daya dalam perencanaan daerah masih harus terus diperjuangkan. (Suhirman. 2008)
Sejalan dengan terus bergulirnya reformasi, pemerintah pusat mengantisipasinya dengan dikeluarkannya paket kebijakan bagi perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perubahan peran dari lembaga pemerintah daerah adalah bagi pelayanan publik (public services) secara efektif dan efisien melalui otonomi daerah. Hal ini tentunya akan menuntut peran baru eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan dan pengaturan keuangan dan anggaran daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Dari segi ini peran eksekutif dan legislatif serta masyarakat akan semakin besar, guna menjamin terciptanya pengelolaan keuangan yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan transparansi dan akuntabilitas.
Untuk mendorong reformasi dalam perencanaan dan pengangaran daerah, pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen kebijakan salah satu diantaranya adalah melalui UU nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Bentuk demokratis dalam pengambilan keputusan pembangunan telah ada pada banyak budaya lokal. menjelang tahun 2000an terjadi perubahan pembangunan sebagai akibat perubahan paradigma yang melihat tidak mungkin suatu pembangunan tidak melibatkan negara. Hal ini menyebabkan pola pembangunan partisipatif mulai masuk dalam program pemerintah dan menimbulkan keseimbangan baru antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Anggaran perencanaan daerah yang selama ini dibebankan kepada pemerintah pusat mulai bergeser kepada pemerintah daerah. Pada dekade ini pendayagunaan sumber daya daerah masih dirasa kurang sebagai upaya untuk melibatkan selururuh komponen dalam perencanaan daerah.
Ada beberapa faktor pendorong mengapa perencanaan dan penganggaran daerah menjadi wacana penting dan merupakan agenda reformasi di banyak daerah. Pertama, secara paradigmatik diyakini bahwa perencanaan dan penganggaran daerah adalah bentuk kongkret dari pelaksanaan desentralisasi administrasi pemerintahan dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Perencanaan dan penganggaran daerah adalah bentuk nyata penerapan prinsip demokrasi dalam alokasi sumberdaya publik. Kedua, munculnya dukungan kerangka hukum yang memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur urusan daerahnya, termasuk di dalamnya urusan perencanaan dan pengalokasian anggaran.
Reformasi kebijakan perencanaan dan penganggaran daerah muncul sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Inisiatif tersebut kemudian menguat bersamaan dengan lahirnya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah.
Kenyataan menunjukkan bahwa selama ini pengelolaan keuangan dan anggaran daerah masih dengan sistem tradisional, dengan ciri utamanya yaitu: 1) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item, dan 2) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism. Sedangkan ciri lainnya, 3) cenderung sentralistis, 4) bersifat spesifikasi, 5) tahunan, 6) menggunakan prinsip anggaran bruto (Mardiasmo, 2001: 7).
Karena itu, selain berhasil mendorong ditetapkannya berbagai keputusan kepala daerah dan perda mengenai perencanaan partisipatif di berbagai daerah, Perform Project juga berhasil mendorong ditetapkannya kebijakan pemerintah mengenai Pola Dasar Pembangunan Partisipatif. Keseluruhan peraturan tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menerapkan proses perencanaan dan penganggaran secara partisipatif, penyusunan anggaran berbasis kinerja, alokasi anggaran yang mendukung terhadap kepentingan orang miskin dan responsif gender (gender budget responsiveness).

B. Permasalahan
Jika dikaji lebih jauh, upaya mendorong proses perencanaan dan penganggaran daerah sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1986 melalui Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD). Tetapi perencanaan tersebut tidak begitu berpengaruh pada pengalokasian anggaran untuk masyarakat desa. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya jaminan bahwa usulan di tingkat desa diterima baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten, dan situasi sosial politik waktu itu yang tidak memungkinkan warga desa untuk lebih berani dalam memperjuangkan aspirasinya.
Berdasarkan fenomena tersebut maka permasalahan yang ingin di angkat dalam makalah ini adalah “Bagaimana proses perencanaan dan penganggaran daerah yang mampu mengoptimalkan sumberdaya dan keuangan daerah, mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Daerah?”

C. Analisis Masalah
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan yang merupakan aktualisasi dari pelaksanaan rencana jangka panjang maupun menengah. Dalam penyusunan anggaran, rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah perlu diperhatikan. Salah satu fungsi anggaran adalah membantu manajemen pemerintah dalam pengambilan keputusan, dan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja unit kerja dibawahnya. Shah (1994: 31-32) menyebutkan bahwa kebutuhan pengeluaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tingkat kinerja bagi keberadaan program pemerintah baik yang berasal dari kabupaten maupun propinsi. Pengeluaran pemerintah daerah terutama anggaran daerah akan membantu pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan perencanaan pembangunan. Di samping itu dapat dikembangkan menjadi ukuran-ukuran standar untuk mengevaluasi kinerja semua aktivitas unit kerja. Kaho (2007: 123) menyetakan bahwa kemampuan selt supporting di bidang keuangan merupakan salah satu kriteria penting untuk menentukan kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi yang dimiliki.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan Rancangan APBD berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD (Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2003).
Nawawi (2000) dalam Tangkilisan (2003: 403) mendefinisikan empat perencanaan strategik , yaitu:
1) Perencanaan strategik adalah proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapkan cara pelaksanaannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan,
2) Perencanaan strategik adalah usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploatasi peluang yang muncul guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan,
3) Perencanaan strategik adalah suatu keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan suatu strategi atau strategi-strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan organisasi,
4) Perencanaan strategik adalah perencanaan berskala besar (perencanaan strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (visi), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipal).

Dari pengertian di atas dapat diambil arti bahwa perencanaan strategik dalam perencanaan daerah adalah suatu perencanaan yang disusun berdasarkan visi daerah dan menumbuhkembangkan sumber daya daerah untuk mengeksploatasi peluang yang muncul guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Sedangkan perencanaan daerah mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 dimaksudkan adalah untuk mencapai keseimbangan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swadaya masyarakat likal, sehingga dapat diciptakan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah yang efektif.
Suatu perencanaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja pada dasarnya melibatkan tiga elemen penting yang saling terkait yakni, masyarakat, DPRD dan Pemerintah Daerah. Proses dan pengalokasian anggaran belanja tersebut akan dievaluasi dalam rangka menyusun belanja pemerintah pada tahun-tahun berikutnya, baik dilihat dari paradigma lama maupun paradigma baru penyusunan anggaran. Berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004, beberapa lembaga memiliki peran penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah yaitu: Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala daerag, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pasal 18 menyebutkan: Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Struktur APBD menjelaskan, pengeluaran daerah terdiri dari dua komponen yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan total beban pemerintah daerah yang terdiri dari Belanja Pegawai dan Belanja non Pegawai yang secara terus menerus dibiayai tiap periode. Pengeluaran pembangunan adalah total beban pemerintah daerah yang berupa proyek fisik maupun non fisik dalam suatu periode tertentu.
Pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan yang lebih rinci ditegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku, efisien dan efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan atas keadilan dan kepatutan. Tujuan perencanaan pengeluaran daerah adalah untuk menjamin bahwa suatu keputusan yang menyangkut pengalokasian dana yang terbatas, telah dipertimbangkan: prioritas kebutuhan; akibat yang akan timbul (dilihat dari perekonomian secara keseluruhan), misalnya apakah pengalokasian dana dapat mengakibatkan inflasi. Pada prinsipnya perencanaan pengeluaran oleh pemerintah bertujuan untuk memenuhi keinginan seluruh masyarakat.
Kaho (2007: 124) mengatakan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Secara realistis, praktek penyelenggaraan pemerintah daerah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari program kerja yang ada dalam keuangan daerah cenderung merupakan arahan dari pemerintah pusat sehingga besarnya alokasi dana rutin dan pembangunan daerah belum didasarkan pada standard analisa belanja tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar menawar inkremental (incremental bargaining approach).
Menurut Mardiasmo (2000: 3) perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah daerah, sebagai berikut:
1) pengelolaan keuangan daerah harus bertumbuh pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi alokasi anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;
2) kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya;
3) desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti: DPRD, Kepala Daerah, Sekretaris Daerah dan perangkat daerah lainnya;
4) kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas;
5) kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah dan pegawai negeri sipil daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya;
6) ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan;
7) prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional;
8) prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;
9) aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;
10) pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapatkan informasi.

Meningkatnya pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang menghendaki adanya pelayanan pemerintah, sehingga orientasi alokasi anggaran akan tertuju pada kepentingan publik. Gambaran orientasi pada kepentingan publik ini dapat diketahui melalui proporsi alokasi anggaran yang lebih besar pada jenis layanan yang langsung dapat dinikmati masyarakat, dari pada kepentingan layanan yang tidak langsung dinikmati masyarakat.
Mengingat APBD merupakan salah satu alternatif yang dapat merangsang kesinambungan serta konsistensi pembangunan di daerah, maka model penyusunan APBD akan sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan anggaran. Untuk itu sistem, prosedur, format dan struktur APBD yang selama ini digunakan, belum mampu mendukung tuntutan perubahan, dengan demikian perlu suatu perencanaan APBD yang lebih sistematis, terstruktur dan komprehensif (Mardiasmo, 2001: 5).

D. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan.
1. Penyusunan Anggaran Belanja di era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal harus berorientasi kepada kepentingan publik dan menggunakan pendekatan kinerja sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003. Lembaga legislatif dan eksekutif daerah perlu melakukan proses penjaringan aspirasi masyarakat (need assessment) untuk mengetahui kebutuhan riil masyarakat di daerah, kemudian bersama-sama DPRD dengan pemerintah daerah menetapkan arah dan kebijakan umum APBD sebagai dasar penyusunan strategi dan prioritas APBD.
2. Pengalokasian anggaran harus sesuai dengan prioritas dan tuntutan masyarakat, di mana anggaran yang ada harus benar-benar digunakan untuk melaksanakan kegiatan/proyek yang perlu dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam menyusun anggaran belanja rutin perlu adanya standarisasi anggaran dan prioritas pada masing-masing unit kerja, sehingga dana yang dialokasikan pada masing-masing unit kerja dapat mencukupi untuk menjalankan kegiatan unit kerja yang bersangkutan.
3. Melakukan stratifikasi sumber dana mana yang kemampunnya lebih tinggi, dan yang masih rendah, sehingga dapat disusun suatu kebijakan untuk mengoptimalkan sumber dana atau sumber pendapatan yang belum produktif.

E. Refferensi
Hesel, Nogi S., Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. YPAPI dan Lukman Offset, Yogyakarta.

Suhirman. 2008. Kerangka Hukum Perencanaan Dan Penganggaran Daerah. (online). http://sanggar.wordpress.com/2008/03/03/kerangka-hukum-perencanaan-dan-penganggaran-daerah/ Diakses Tanggal 22 Desember 2010.

Mardiasmo. 2000. “Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Untuk Menyongsong Pelaksanaan otonomi Daerah 2001” Seminar Isu terakhir Menjelang Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2001. HIMMEP, Yogyakarta.

_________2001. Desentralisasi Sistem dan Desentralisasi Fiskal. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kaho, Joseph, Riwu. 2007. Prospek Otonomi Daerah di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.